Love Persis Hate Rasis, adalah tagline baru yang mulai didengungkan dikalangan suporter Pasoepati. Sesuai dengan kalimatnya, tentunya sudah sangat jelas untuk dipahami bahwa Pasoepati tetap saja mencintai klub kebanggaannya, Persis Solo, dan sebaliknya Pasoepati memiliki rasa benci tersendiri terhadap yang namanya rasis. Kabar tentang rasisme memang saat ini tengah menjadi hangat-hangatnya terjadi di kalangan industri sepak bola Indonesia, khususnya suporter.
Menciptakan kerukunan antar kelompok suporter lebih mulia dari sekedar permusuhan.
Dimanapun, masih saja terdengar sebuah kelompok suporter melakukan rasis terhadap sebuah klub sepak bola maupun sekelompok suporter tertentu. Hal ini tentu saja sangat disayangkan oleh berbagai pihak, pasalnya kehadiran suporter di dalam stadion justru diharapkan untuk memberikan dukungan kepada tim yang bertanding dan bukan malah bertindak rasis yang justru bisa mengundang sanksi tersendiri bagi suporter maupun tim sepak bolanya.
Solo Welcomes You, Pasoepati membuka diri untuk saling bersaudara dengan kelompok suporter lainnya.
Tindakan rasis yang ditunjukkan beberapa kelompok suporter di Indonesia, belakangan ini terjadi melalui media lagu-lagu suporter yang dinyanyikan di dalam stadion. Umumnya, tindakan rasis suporter terjadi akibat adanya rasa benci atau pun permusuhan sengit yang mewarnai hubungan dua/lebih kelompok suporter. Tak heran jika sekarang ini lagu-lagu suporter telah terbumbui oleh kata-kata kotor yang seharusnya tak pantas untuk diperdengarkan.
Efek yang ditimbulkan sangat luar biasa hebatnya, selain membuat malu nama kelompok suporternya sendiri, nyanyian rasis ternyata juga memberikan pengaruh buruk kepada para penikmat sepak bola yang masih berusia kanak-kanak. Saat ini, mudah sekali dijumpai para suporter sepak bola berusia muda/kanak-kanak telah hafal dengan lagu-lagu rasis khas supoter. Lagu-lagu yang meraka hafalkan tentu saja ia pelajari dari pembelajaran singkat di tribun stadion.
Spartacks kelompok pendukung Semen Padang, berkunjung ke Solo dengan membawa misi persaudaraan.
Pasoepati, sebuah kelompok suporter sepak bola dari Solo juga tak lepas dari hegemoni penyebaran virus lagu-lagu suporter rasis. Di dalam stadion Manahan, lagu-lagu laknat itu pun masih beberapa kali dinyanyikan dengan tujuan menghujat sebuah klub sepak bola berikut kelompok suporternya.
Ironis memang, kelompok suporter berplatform kreatif dan cinta damai ini mulai terjangkiti penyakit suporter yang begitu memalukan. Kwalitas Pasoepati sejak pertama kali didirikan kini telah mengalami sebuah kemunduran. Kreatifitasnya kini mulai memudar tergantikan oleh trend-trend suporter lain yang belum tentu baik bagi perkembangan Pasoepati itu sendiri.
Hujatan lagu-lagu rasis yang dinyanyikan oleh Pasoepati, disadari atau tidak sebenarnya malah merugikan kelompok suporternya sendiri. Selain meninggalkan nyanyian dukungan ke tim pujaan yang sedang bertanding, nyanyian lagu rasis justru malah membuka identitas buruk bagi kelompok suporter yang menyanyikannya. Sekali lagi, sebenarnya tidak ada yang patut dibanggakan dari sebuh lagu-lagu rasis. Tak hanya sebuah lagu, bahkan perbuatan yang cenderung menjurus ke rasis juga sangat merugikan. Hentikan rasisme, dimulai dari kota Solo dan dimulai dari sekarang juga!
Slemania hadir ditengah-tengah kerumunan suporter The Jakmania, sebuah pemandangan indah yang sempat tersaji di tribun stadion Manahan beberapa waktu yang lalu.
Lagu-lagu rasis yang menjurus ke sebuah lagu hujatan, timbul karena adanya persaingan sebuah kelompok suporter. Setiap kelompok suporter mengaku bahwa kelompok suporternyalah yang paling baik, sebaliknya memandang kelompok suporter lain sebagai suporter yang bercitra buruk.
Sebenarnya sah-sah saja jika terdapat seorang suporter mengagung-agungkan nama kelompok suporternya sendiri, karena itu juga berarti sebuah kebanggaan. Namun tidak menjadi sah jika kemudian seorang suporter tersebut menilai bahwa kelompok suporter lain bernilai buruk dengan alasan dan argumen dangkal tanpa sebuah analisa yang cermat dan tepat.
Di Indonesia, sangat sulit menentukan mana yang disebut sebagai kelompok suporter terbaik. Penyebaran kelompok suporter yang merata di seluruh penjuru kota di Indonesia, mengakibatkan Indonesia memiliki basis suporter yang luar biasa banyaknya.
Keberagaman suku dan budaya yang mendasari sebuah kelompok suporter, mambawa pengaruh baik bagi terciptanya kerukunan ditiap-tiap kelompok suporter. Namun ada juga karena perbedaan suku maupun budaya, sebuah kelompok suporter malah terlibat perseturuan atau permusuhan sengit. Tak ayal melalui perseteruan suporter itulah, rasisme malah kian meraja di industri sepak bola negeri ini.
Jabat erat persaudaraan lebih bermakna dari sekeder nyanyian rasis di tribun stadion.
Sangat sulit rasanya menjawab sebuah pertanyaan siapakah kelompok suporter terbaik di Indonesia. Di negeri ini, tidak ada kelompok suporter yang bisa ditiru secara mentah-mentah oleh kelompok suporter Pasoepati. Masing-masing kelompok suporter mempunyai kelemahan dan kelebihannya sendiri-sendiri.
Tirulah Aremania yang pesat kemajuan kreatifitasnya. Selalu menghadirkan nuansa unik dan menarik di setiap atraksinya di atas tribun stadion. Tirulah The Jakmania yang selalu ada ketika tim pujaannya bertanding di luar kota, termasuk jika harus menyeberang pulau.
Tirulah Viking Bandung yang begitu militan dan mempunyai faktor kekeluargaan yang begitu kuat dan tak tergoyahkan. Bahkan tirulah Bonekmania Surabaya yang menjadi suporter kuat, mempunyai loyalitas dan dedikasi tinggi terhadap Persebaya sebagai klub pujaannya.
Dan jika harus berada di luar kelompok Pasoepati, maka akan dengan tegas berseru kepada kelompok suporter lain : “Tirulah Pasoepati Solo, yang mampu mengatasi kemajemukan suporter Indonesia, di atas perbedaan daerah, ras, suku dan warna bendera”. Hentikan rasisme sekarang juga! (adjiwae onengisme)