Bekerja dibalik layar atau jarang tampil dihadapan publik memang menjadi sesuatu yang kurang menyenangkan bagi sebagian orang. Kurang dikenal banyak orang, hasil yang didapat tidak sebanyak dengan orang – orang yang berada dipanggung depan, membuat banyak orang untuk berfikir ulang akan prospek pekerjaan tersebut dimasa yang akan datang. Padahal tanpa disadari, orang – orang yang selama ini hanya berada di balik layar dalam suatu jenis pekerjaan tertentu, justru menjadi salah salah satu kunci kesuksesan atau keberhasian didalamnya.
Ketika kita berbicara mengenai Persis Solo, tentu yang ada dalam pikiran kita hanya nama – nama besar pemain mulai dari The Tiger Ferry Anto, sosok tinggi tegap Tinton Suharto, wajah ganteng maskulin Muhammad Wahyu Fitrianto, dan si hitam manis Nnana Onana. Atau sosok yang selalu terlihat berwibawa dihadapan publik meskipun mungkin didalamnya menyimpan setumpuk beban dan tanggung jawab, coach Widyantoro.
Kita akan terlihat mengernyitkan dahi atau sedikit berfikir ketika mendengar nama Bambang Sentono disebut. Nama yang cukup asing di telinga bagi sebagian besar orang bahkan bagi mereka – mereka yang selama ini memposisikan diri mereka sebagai fans sejati Persis Solo. Siapa gerangan sosok tersebut ? seberapa pentingkah sosok tersebut di dalam lingkup sebuah tim kesebelasan kebanggaan kota bengawan ? Eksklusif hanya bersama redaksi PasoepatiNet, kita akan sedikit banyak menguak akan sosoknya.
***
Bambang Sentono atau yang biasa disapa dengan sebutan Pak Tun merupakan seorang penjaga Mess Persis Solo yang telah mengabdi selama hampir sepuluh tahun bersama tim berjuluk Laskar Sambernyawa. Pria asli Solo kelahiran tahun 1962 ini telah menjadi bagian dari tim Persis Solo sejak tahun 2004 ketika tim tersebut belum memiliki mess sendiri dan harus “bermukim” di Indah Jaya Hotel Surakarta.
Sebelum bergabung bersama Persis Solo, pada dasarnya Pak Tun hanyalah seorang supir pribadi yang banyak mendapat tawaran untuk menjadi supir diberbagai kesempatan. Kisahnya bermula ketika ia bergabung bersama Forum Banteng Kampus ( FBK ) dan Komunitas Musik Keroncong yang seringkali dimintai tolong untuk ikut berpartisipasi di dalamnya. Tak jarang, Pak Tun juga dimintai tolong untuk mendampingi para Mahasiswa yang sedang melaksanakan program Kuliah Kerja Nyata ( KKN ) diberbagai tempat sebelum pada akhirnya resmi ditarik dan mendapat Surat Keputusan ( SK ) untuk menjadi supir bagi tim kesebelasan Persis Solo.
“Di SK, saya tertulis sebagai Divisi Transportasi mbak. Bisa dicek nanti di Balai Persis, ada MMT besar bertuliskan Struktur Organisasi Persis Solo. Disitu ada nama saya nanti. Awalnya saya suka seni, malah jadi berkecimpung di sepak bola seperti ini, meskipun kapasitas saya bukan sebagai seorang pemain atau pun pelatih”, kata Pak Tun.
Meskipun secara struktural Pak Tun berada di Divisi Transportasi, pada dasarnya ia memiliki banyak sekali tugas – tugas lain yang harus ia lakukan selama berada di mess. Mulai dari mengecek keperluan rumah tangga seperti air, listrik, menyapu ruang demi ruang, menjemput pemain, hingga menjaga keamanan serta kenyamanan mess tentunya.
“Saya dulu sering mbak nyupiri bis Persis yang gede itu, bis yang ber ac. Dulu kan Persis sempet punya bis bagus, saya yang bawa kemana – mana. Ketika masih di Divisi II dulu, sering ikut tour ke Bogor, Kudus, Kuningan, Bojonegoro, sampe Tulungagung”, jelasnya.
Sepuluh tahun mengabdi bersama Persis Solo dan sebagian besar waktu yang ia miliki digunakan untuk mengurus keperluan mess, membuat dirinya sangat dekat dengan para pemain Persis dari musim ke musim. Ia menjadi sosok yang sedikit banyak tahu mengenai keseharian pemain selama berada di dalam mess yang mungkin terlihat jauh berbeda ketika mereka berada di lapangan untuk bertanding. Bahkan seringkali Pak Tun menjadi tempat sasaran curhatan bagi para pemain yang memiliki masalah tertentu, entah itu masalah keluarga atau pun hanya sekedar sharing.
“Kegiatan para pemain biasanya kalo lagi longgar ya main game mbak di kamar, atau ada juga yang sibuk sms an. Yang sudah punya keluarga ya sms keluarganya, yang baru punya pacar ya sms sama pacarnya. Biasalah mbak melepas rindu dengan orang – orang tercinta, ga melulu mikirin bola terus”,
“Mereka juga sering cerita – cerita sama saya, apapun itu. Ketika musim kompetisi bergulir, sering mereka cerita tentang kejadian di lapangan, kalah, menang, suka, duka, ah apapun itu mbak, semua diceritakan kepada saya. Masalah keluarga pun sering kali curhatnya ke saya. Mungkin kalau sama Pak Wid agak sungkan atau malu – malu, tapi kalo sama saya malah bisa lebih terbuka”, jelas Pak Tun panjang lebar.
Kedekatan Pak Tun dengan para pemain memang menunjukkan bahwa keberadaannya sangat dibutuhkan dan sangat diterima oleh segenap jajaran pengurus maupun managemen. Sifatnya yang sangat penyabar, ringan tangan alias suka membantu banyak orang, serta rasa loyalitasnya yang tinggi terhadap Persis Solo membuat dirinya sampai saat ini masih dipercaya untuk menjadi bagian dari kesatuan tim.
Sosok Pak Tun yang ringan tangan itu lah yang membuat ia seringkali dimintai tolong untuk menjadi sopir oleh tetangga maupun kerabat dekatnya diberbagai kesempatan ketika memang di mess semua tanggung jawabnya telah terselesaikan. Sesekali para pemain juga mengajaknya untuk berlibur bersama keluar kota maupun hanya sekedar mencari makan di luar sembari berbagai cerita.
“Kadang ada tetangga yang minta tolong disupiri ke suatu tempat gitu mbak, ya saya mau saja asal kerjaan saya di mess sudah selesai. Atau sering juga dimintai tolong untuk bantu – bantu ngurusin yang di lapangan. Sebenernya sudah ada kitman mbak, tapi gpp karena dikerjakan bersama malah lebih bagus. Pokoknya saja kerjakan lah mbak semua, istilahnya menjadi orang yang serbaguna, bermanfaat buat banyak orang”, terangnya.
Baginya, semua pemain adalah sama, entah itu pemain muda maupun senior. Ketika awal bergabung memang beberapa diantara mereka masih terlihat canggung satu sama lain terlebih dengan Pak Tun. Namun setelah satu atau dua bulan melewati masa penjajakan, satu sama lain mulai terlihat dekat dan saling menjaga. Bagi Pak Tun, para pemain Persis dengan berbagaimacam karakter dan sifat nya masing – masing menjadi warna tersendiri dalam hidupnya. Ia memposisikan semua pemain sama rata, dan telah menganggap mereka semua sebagai anak laki – lakinya.
Apalagi ketika akhir bulan datang dan kantong kering melanda sebagaian besar penghuni – penghuni mess, ada satu fenomena atau kejadian unik yang baginya tidak akan pernah terlupakan sampai kapan pun dan akan selalu ia kenang. Satu fenomena lucu yang membuat dirinya sering tertawa lepas dan rindu suasana mess yang ramai akan penghuninya.
“Kalau akhir bulan mbak, wah udah capek latian kan mereka, ditambah duit juga sudah pada habis, apapun makanan yang tersaji di atas meja, habis ga ada sisa. Mau makanan enak atau ga enak, mereka ga peduli mbak. Kalau ngambil nasi tu segunung, bertumpuk – tumpuk, kadang ada yang jail ngambil lauk dobel, makan ngumpet – ngumpet di kamar, ah pokoknya lucu mbak, nyenengke liat mereka begitu. Bahkan cuma krupuk sak toples pun habis mbak”, cerita Pak Tun bersemangat yang diakhiri dengan gelengan kepalanya.
Sebagai sosok dibalik layar yang keberadaannya cukup penting di klub, Pak Tun seringkali dilibatkan dalam berbagai kegiatan apa pun. Sehingga, ia sedikit banyak tahu mengenai situasi – situasi yang terjadi di dalam managemen, pemain, lingkup supporter, dan media peliput. Ketika klub sedang dilanda krisis keuangan yang hebat, ia pun juga turut prihatin dan tentu terkena imbasnya. Tetapi baginya hal tersebut bukan lah menjadi suatu masalah yang besar. Ia telah cukup paham dan terbiasa dengan kondisi yang serba susah, dan memang begitulah resiko ketika kita telah memutuskan untuk berkecimpung di dalam dunia si kulit bundar.
Ia juga menuturkan bahwa cukup mengenal dekat dengan beberapa pentolan supporter Pasoepati mulai dari Iwan Walet, Maryadi Gondrong, Anwar Sanusi, Bimo Putranto, dan dirijen Pasoepati tribun timur Andre Jaran. Menjadi bagian dari sebuah tim besar dan penuh akan sejarah panjang yang menyertinya, membuat Pak Tun merasa betah dan nyaman. Baginya, penghasilan besar bukan lah apa – apa jika dibandingkan dengan berada di lingkungan orang – orang yang penuh akan rasa cinta dan kasih sayang.
Siapa yang menyangka, sosok Pak Tun yang terlihat sangat sederhana dengan mungkin penghasilan dari pengabdiannya kepada Persis Solo yang jelas tidak begitu besar, membuatnya mampu untuk menyekolahkan anak perempuan satu – satunya hingga jenjang Magister alias S2. Hasil jerih payah yang ia kumpulkan sedikit demi sedikit sejak tahun 2006 membuatnya mampu untuk mengangkat derajat keluarga dengan gelar tinggi yang diperoleh anaknya. Semua murni berkat kerja keras dan kesabaran dari sosok penjaga mess Persis ini, karena ia lah tulang punggung keluarga.
Sedikit menyinggung ke belakang, Pak Tun memiliki seorang istri dan dikaruniai seorang anak perempuan dari hasil pernikahannya. Istrinya yang dulu berprofesi sebagai perawat di salah satu rumah sakit swasta, kini hanya menjadi freelance atau pekerja panggilan. Entah apapun itu, seperti contoh membantu tetangga yang sedang memiliki hajatan.
“Perjuangan saya dan istri untuk bisa menyekolahkan anak sampai ke S2 itu kalo dihitung secara logika ekonomi ga bakal nyampe mbak, kurang. Saya hanya mengumpulkan uang sedikit demi sedikit, syukur – syukur mendapatkan uang tambahan. Selebihnya tinggal bagaimana Allah yang menentukan rejeki saya bagaimana. Kuncinya cuma berdoa, bekerja, kita serahkan sama Allah, rejeki orang ga bakal tertukar”, kata Pak Tun seraya tersenyum.
Selain itu, berkat kerja keras, doa, serta loyalitasnya yang tidak diragukan lagi dalam jajaran komponen klub Persis Solo, membuat Pak Tun akhirnya mampu untuk membeli sebuah mobil pribadi meskipun hanya mobil biasa sekedar untuk melindungi diri dan keluarganya dari rasa panas dan hujan ketika bepergian.
“Alhamdulillah bisa beli mobil mbak, ya meskipun mobil tua. Kasian keluarga, cucu, kalo pergi – pergi terus kehujanan. Kadang saya taruh disini mobilnya, lha wong di rumah ga punya garasi”, ujar Pak Tun lantas tertawa.
Dibalik tubuhnya yang kecil dan sedikit kurus, tersimpan sebuah asa dan nadzar yang cukup menakjubkan bahkan mungkin tidak terfikirkan oleh banyak orang. Ia memiliki nadzar, seandainya Persis Solo musim lalu mampu melangkah lebih jauh dalam artian lolos Indonesia Super League, ia akan berjalan sejauh 7 kilometer dan akan menyekolahkan anaknya lanjut hingga gelar Doktor ( S3 ).
Tidak main – main, bahkan ia pun telah menyiapkan mental dan fisik jauh – jauh hari sebelumnya. Setiap hari ia berlatih dengan mengelilingi lapangan Stadion Sriwedari sebanyak 18x putaran.
“Nadzar saya kalau Persis lolos mbak, saya lari 7 kilo. Saya latihan terus 18x putaran, sekali putaran panjangnya 400 meter. Kalau 18 x 400 kan udah 7,2 berarti saya mampu. Pak Wid dan semua pemain pun juga sudah pada tau mbak”, ungkapnya.
Namun nasi telah menjadi bubur halus, pemenang dan siapa yang berhak lolos melaju ke kasta teratas liga sepak bola Indonesia bukan lah Persis Solo seperti yang telah diimpikan oleh banyak orang. Pak Tun pun menyadari, bahwa segala sesuatu telah ada yang mengaturnya di atas. Tidak perlu aksi saling menghujat antara satu dengan yang lain, semua komponen baiknya saling merenung, berintrospeksi diri.
Baginya, Persis Solo tetap lah tim kesebelasan yang hebat. Seperti kata – kata yang ia ungkapkan,
“Persis Solo kurang hebat apa mbak, dua kali lho pergi ke Samarinda untuk bertemu Borneo meskipun disana mendapat perlakuan yang tidak sepantasnya. Aksi teror di luar lapangan itu namanya sudah premanisme, kecuali kalau di lapangan itu masih menjadi sesuatu yang wajar dan sering terjadi di dunia persepakbolaan. Liat klub sebelah, malah sampai terjadi insiden sepak bola gajah saking takutnya ketemu lawan klub Kalimantan. Tapi Persis Solo? saya rasa semua masyarakat di luar sana sudah mampu menilai.”
Sosok Pak Tun memang pantas ketika banyak orang mulai menyebutnya sebagai salah satu legenda. Kesetiaan dan pengorbanan nya sebagai orang yang “serbaguna” selama sepuluh tahun mengabdi untuk klub sekiranya bisa menjadi tolok ukur akan hal tersebut. Pemain, pelatih, managemen maupun pengurus silih berganti keluar masuk menghiasi warna dalam klub. Tetapi selama itu, tetaplah Pak Tun sosok di balik layar sebagai seorang penjaga mess yang mengurus segala keperluan rumah tangga dalam mess, bertransformasi menjadi seorang kitman di lapangan, menjadi sopir yang rela pulang pergi menemani pemain, bahkan sampai menjadi tempat curhatan para pemainpun telah ia rasakan dan nikmati.
Di usianya yang kini memasuki umur 52 tahun atau bisa dikatakan sebagai usia yang cukup senja sebagai seseorang yang berprofesi sebagai supir serta mengurus mess sebuah klub, belum ada terbersit di dalam pikirannya untuk pensiun.
“Selama saya masih mampu dan diberi kesempatan untuk terus bergabung oleh Persis, saya akan tetap disini mbak, sampai kapan pun”, ujar nya yang cukup membuat redaksi sedikit terharu.
“Setiap yang saya lakukan disini bersama Persis baik pemain, pelatih, managemen, saya selalu menikmati. Persis adalah tempat saya bekerja paling lama, hampir sepuluh tahun saya merasakan suka dan duka bersama klub ini. Saya tidak lagi mengejar uang, gaji tinggi, atau apapun itu mbak. Saya sudah tua, tinggal menikmati masa tua saya dengan mengabdi kepada klub selagi saya mampu, menyenangkan anak dan cucu, itu saja mbak”.
***
Begitulah sosok legenda di balik layar sebuah tim berjuluk Laskar Sambernyawa. sosok yang selama ini telah mewarnai hari – hari di dalam mess dengan penuh rasa kesetiaan terhadap klub yang teramat sangat. Sosok yang dapat dijadikan sebagai panutan serta contoh yang baik bagi semua orang. Bahwa di dunia ini tidak ada yang tidak mungkin. Selagi kita mau berusaha, berdoa, serta ikhlas dalam menjalankan segala sesuatu, apapun dapat kita peroleh dan kita raih.
Dan satu lagi, sesuai dengan nasihat beliau…
Berbuat lah dengan hati, karena segala sesuatu yang berlandaskan hati yang bersih, akan senantiasa jauh lebih berkah dan lebih baik
Salam, srikandi Pasoepati Campus, Epik 😀