“Saya datang ke Stadion Manahan untuk melihat Persis Solo berlaga, bukan untuk melihat koreografi suporter atau hal lainnya,”celoteh seorang teman saya ketika sedang ngobrol di wedangan.
Rasanya apa yang diucapkan teman saya tersebut tidak salah, dirinya yang sebagai seorang pecinta Persis Solo memang datang ke stadion hanya untuk melihat tim kesayangannya berlaga. Pemikiran tersebut meski bisa saja tidak disukai orang lain, namun tetap tidak bisa diperdebatkan kebenarannya karena menyangkut soal pilihan hati.
Ketika saya mengikuti pembicaraan di jejaring sosial twiter atau pun facebook, saya menemukan banyak sekali teman yang mengunggah foto koreografi Pasoepati di tribun Manahan. Perasaan bangga terlihat melalui tulisan yang mereka unggah menyertai foto tersebut. Salah? Saya berfikir tingkah laku mereka tidak salah, dan hal tersebut juga tidak bisa diperdebatkan.
Dua sisi tersebut adalah dinamika yang saat ini tengah terjadi di suporter sepakbola, perbedaan yang membuat sepakbola menjadi semakin indah untuk dinikmati karena keragamannya. Seperti halnya saat PSSI melarang penyalaan flares yang bahkan seolah sekarang sudah menjadi ciri khas suporter di Indonesia.
Tapi, pernahkah kita berfikir sedikit maju bahwa atraktifnya suporter di tribun ternyata bisa menarik penonton untuk datang ke stadion?
Pernah suatu ketika saya memperlihatkan foto koreografi Pasoepati kepada keluarga saya di rumah. Bermacam tanggapan pun langsung muncul mengomentari foto tersebut.
“Saya ikut ke Manahan ya mas, pengen lihat seperti yang digambar itu,”ujar adik saya.
“Tumben teman-teman mu ora tawuran, biasanya di stadion kan cuma jadi ajang tawuran. Marai males kancane kalau mau lihat bola,”ujar ibu saya.
Ucapan ibu saya jelas berbeda dibandingkan saat beliau melarang saya mengajak adik ke stadion karena pernah melihat nyanyian rasis Pasoepati ketika disiarkann langsung oleh salah satu stasiun televisi swasta.
“Adikmu rasah diajak ndelok bola, malah rusak pikirane nek kakehan ndelok wong misuh,”ujar ibu.
Saya lantas berfikir, koreografi nyanyian yang tidak berisi umpatan ternyata menjadi salah satu daya pikat sebuah pertandingan sepakbola yang mampu menarik penonton untuk hadir ke stadion. Adakah yang salah? Rasanya tidak, karena saya selalu menemukan suporter Glasgow Celtic memperagakan aksi koreografi meskipun mereka bukan suporter yang beraliran Ultras.
Nah, seandainya menonton sepakbola di Manahan bisa senyaman di luar negeri sana, tentu tidak hanya fans Persis Solo saja yang hadir ke stadion. Namun akan banyak penonton umum yang datang ke Manahan untuk sekedar berekreasi menghilangkan penat.
Efek positifnya? Tentu saja penjualan tiket akan ikut terdongkrak, pemasukan keuangan klub juga ikut bertambah. Bola panas sekarang ada di kita, ingin membuat Persis Solo semakin maju atau hanya bertahan di titik dimana sepakbola Solo semakin tertinggal dibanding dengan kota lain.
*Salam hormat saya, Purnomo Adi.