PSSI. Dulu saya bertanya kepada mendiang ayah saya, “Apa itu PSSI?” Beliau menjawab, “Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia.”Untuk beberapa tahun setelah percakapan di dalam mobil Suzuki Sidekick itu, saya kemudian mempertanyakan, apakah yang dikatakan ayah saya soal PSSI itu benar atau tidak. Sudah 14 tahun semenjak saya menanyakan pertanyaan tersebut.
Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia dapat diartikan sebagai wadah bersatunya sepakbola Indonesia. Semua orang awam pun dapat mengartikan hal ini secara sederhana. Ya, itulah PSSI secara konsep. Hal itulah yang diinginkan para pendiri PSSI lebih dari 80 tahun silam.
PSSI dibuat agar sepakbola Indonesia memiliki wadah resmi dan dapat dikembangkan secara terstruktur dari bawah sampai atas. Akan tetapi, apakah usia 80 tahun lebih PSSI ini mampu menjawab apa yang diinginkan para pendiri tersebut? Saya tidak akan menjawab ‘iya’ atau ‘tidak’ karena ada hal-hal yang tidak bisa dijawab apabila kita hanya disediakan dua pilihan general seperti ini.
Indonesia merupakan negara dengan penggemar sepakbola yang amat besar jumlahnya. Indonesia bahkan menjadi salah satu pangsa pasar industri sepakbola Eropa terbesar di Asia bahkan dunia. Stasiun-stasiun TV lokal terestrial maupun TV berbayar berlomba-lomba menyuguhkan acara siaran langsung liga-liga Eropa secara gratis di sini.
Rating acara sepakbola selalu tinggi di sini. Apa artinya? Rakyat Indonesia haus akan sepakbola bermutu. Di setiap tempat yang pernah saya kunjungi, selalu ada orang-orang yang membicarakan soal sepakbola. Sepakbola adalah pelarian mereka dari segala beban hidup. Sepakbola adalah hiburan utama, dan bahkan bagi sebagian orang, sepakbola adalah agama kedua.
Ada fenomena unik di sini di mana banyak sekali rakyat Indonesia yang menjadi pendukung fanatik tim dari negara lain. Saya adalah salah satu contohnya. Saya mencintai Timnas Italia nyaris seperti saya mencintai Timnas Indonesia. Demikian pula dengan sepakbola di level klub.
Banyak sekali die hard fans klub sepakbola mancanegara, terutama Eropa tersebar di Indonesia. Lagi-lagi saya menjadi contoh. Saya mencintai Manchester United dan Juventus bahkan lebih dari saya mencintai Persija Jakarta. Aneh? Tentu saja! Tetapi di balik semua ini tentu ada penjelasan yang masuk akal mengapa banyak rakyat Indonesia memutuskan untuk menjadi penggemar klub luar negeri.
Ini bukan soal cinta atau tidak cinta. Ini adalah soal kebutuhan. Seperti sudah saya sebut sebelumnya, rakyat Indonesia haus akan sepakbola yang bermutu. Rakyat Indonesia rindu prestasi dari sepakbola, olahraga yang notabene paling populer di negeri ini.
Bukan salah kami jika kami kemudian mengalihkan dukungan kepada tim luar negeri. Lagi-lagi alasannya adalah kualitas dan prestasi. Setiap orang butuh kemenangan. Saya berjingkrak-jingkrak dan berteriak-teriak ketika Manchester United merengkuh gelar Liga Inggris ke-19 nya kemarin. Saya butuh merasakan bagaimana rasanya menjadi juara dan tim-tim luar negeri lebih memungkinkan untuk dibebankan harapan itu.
Penduduk Indonesia ada sekitar 230 juta. Saya berani menjamin bahwa lebih dari 150 juta penduduk Indonesia menyukai sepakbola. PSSI sudah berusia 80 tahun lebih dan aktivitas persepakbolaan Indonesia sudah berlangsung bahkan sejak zaman penjajahan.
Hindia Belanda bahkan dulu mampu menembus putaran final Piala Dunia 1938 di Perancis, meskipun langsung dibantai Hungaria 0-6 di pertandingan pertama. Selebihnya, Indonesia belum pernah lagi mencicipi pertandingan kelas dunia. Memang benar, Indonesia pernah mengikuti Olimpiade Melbourne 1956 tetapi untuk sepakbola, gaung Olimpiade kalah jauh dibanding Piala Dunia.
Indonesia juga pernah menjadi tim yang cukup disegani di kawasan Asia Tenggara. Akan tetapi, Asia Tenggara? Punya gaung apa wilayah ini di kancah sepakbola dunia? Asia Tenggara adalah salah satu kawasan dengan kualitas persepakbolaan terburuk di dunia.
Lantas, apa saja yang sudah dilakukan PSSI selama berpuluh-puluh tahun ini? Ada yang bisa menjawab? PSSI yang awalnya digunakan sebagai sarana pemersatu bangsa Indonesia saat ini justru digunakan sebagai sarana penggemuk kantong sebagian kecil orang yang tega mengkhianati amanat ratusan juta penduduk Indonesia. Sepakbola Indonesia sekarat.
Apabila dihitung, Indonesia terakhir kali mengecap trofi juara pada tahun 1991 apabila kita mengesampingkan beberapa turnamen Piala Kemerdekaan. Piala Kemerdekaan tidak masuk dalam agenda resmi AFC atau AFF. Sudah dua puluh tahun silam. Ini jelas bukan waktu yang singkat untuk negara dengan level fanatisme setinggi Indonesia.
Saya tidak berminat mengkambinghitamkan PSSI sendirian. Ini jelas merupakan PR bagi seluruh elemen bangsa yang mengaku mencintai sepakbola. Mulai dari presiden hingga rakyat jelata, semua pantas disalahkan atas kegagalan ini. Akan tetapi, PSSI sebagai induk persepakbolaan Indonesia merupakan pihak yang paling bertanggungjawab atas semua ini.
Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia. Seharusnya PSSI mampu menghimpun seluruh komponen sepakbola Indonesia mulai dari Sabang sampai Merauke, mulai dari P. Rote sampai P. Miangas untuk bergerak bersama membangun sepakbola Indonesia dari level terbawah, dari usia termuda hingga level puncak, tim nasional.
Keberadaan pengcab PSSI di daerah-daerah saat ini justru menjadi penyakit tersendiri bagi persepakbolaan Indonesia. Dari level inilah korupsi di tubuh PSSI bermula. Mulai dari sini pulalah sistem kompetisi berjenjang di Indonesia menemui kegagalan.
Mari kita kembali kepada pertanyaan di awal tulisan. Apakah PSSI sudah berhasil? Saya sudah mengutarakan pendapat saya. Selanjutnya, saya serahkan kepada kebijaksanaan anda sekalian. Maju terus sepakbola Indonesia!
Suatu hari nanti, Piala Dunia bukan lagi obrolan warung kopi belaka. Suatu hari nanti, Liga Champions Asia bukan lagi hangat-hangat tahi ayam. Suatu hari nanti, Ballon d’Or akan menghiasi lemari trofi PSSI. Semoga. Yoga Cholandha *
*Pecinta Sepakbola, Mahasiswa Ilmu Hub. Internasional, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.