“Alap-alap samber nyawa, bawa kami terbang ke angkasa, bangkitlah kau sang legenda, Persis Surakarta….”
Pertama kali mendengar nyanyian ini di Stadion Manahan, rasanya hati ini langsung merinding. Entah apa yang membuat gairah dan semangat mendukung Persis Solo menjadi naik ketika lagu tersebut dinyanyikan oleh teman-teman Pasoepati di tribun selatan Stadion Manahan.
Jika merunut level kompetisi dan prestasi selama 8 musim terakhir, Persis Solo hanyalah tim “pelengkap” dalam keikutsertaannya dalam kompetisi Divisi Utama Liga Indonesia. Bahwa Persis Solo menjadi fenomena dalam keikutsertaannya di setiap kompetisi, itu lebih karena fanatisme suporternya yang luar biasa dukungannya meski tim berjuluk Laskar Samber Nyawa ini minim prestasi.
Pasoepati memang fenomenal, bahkan pada tahun 2010 saat Persis Solo menorehkan rekor hanya bisa meraih 1 kali kemenangan dalam satu musim kompetisi dengan mengalahkan Persikab Bandung di Stadion Manahan, Pasoepati tak ingkar janji. Mereka masih memberikan dukungan untuk Andri Siswanto dkk yang terpuruk dengan rentetan kekalahan yang selalu dideritanya.
Namun, loyalitas dan militas Pasoepati nyatanya tak pernah berbalas lurus dengan dukungan yang mereka berikan untuk Persis Solo. Persis tak pernah bisa meraih prestasi yang bisa membanggakan masyarakat Surakarta.
Di saat tim lain mulai membangun kekuatan, Persis Solo baru sebatas membuat wacana tentang sepakbola yang lebih maju. Namun sayangnya, wacana itu tak pernah diwujudkan oleh pengurus dengan membentuk manajemen yang solid sehingga tim asli Solo tersebut bisa berprestasi.
Sebenarnya Pasoepati sudah melakukan psywar pada tahun 2010 saat bergulirnya Liga Primer Indonesia, ribuan Pasoepati berbondong-bondong mengalihkan dukungannya kepada tim Solo FC yang saat itu bisa menghadirkan euforia kemenangan yang sangat jarang bisa dihadirkan Persis Solo. Stadion Manahan penuh sesak dengan suporter saat Solo FC bertanding, namun kosong melompong saat Persis Solo berlaga.
Namun nampaknya manajemen Persis Solo tak pernah belajar dari keterpurukan, puncaknya adalah saat terjadi dualisme kompetisi di Indonesia. Persis Solo pun terpecah menjadi dua dan keduanya pun tidak menghasilkan prestasi sama sekali. Persis Solo versi PT.Liga Indonesia (LI) yang minim dukungan menghadirkan prestasi memalukan lewat kejadian yang menimpa almarhum Diego Mendieta, sementara Persis Solo versi LPIS dengan sokongan dana melimpah hanya menggapai posisi sembilan pada klasemen akhir kompetisi yang diikutinya.
Psywar yang dilakukan Pasoepati pun terus berlanjut, ketidak percayaan Pasoepati terhadap manajemen (lama) yang dianggap gagal membawa Persis Solo berprestasi membuat Pasoepati kembali memilih boikot terhadap Persis Solo versi PT.LI dan tetap menaruh harapan pada Persis Solo versi LPIS yang dihuni manajemen muka baru pada level kompetisi Divisi Utama.
Sayangnya, selama dua tahun dualisme Persis Solo berlangsung, hanya kekecewaan yang kembali dihadirkan oleh kedua manajemen. Persis Solo versi PT.LI tetap gagal berprestasi namun bisa menutup pemberitaan masalah miring terkait gaji pemain yang biasanya menghantui, sementara Persis Solo versi LPIS menutup kompetisi dengan hasil sangat tragis. Terkena Diskualifikasi dari kompetisi serta menyisakan masalah tunggakan gaji jelas membuat Pasoepati kecewa dengan kinerja manajemen baru yang sebelumnya digadang-gadang bisa membawa perubahan di tubuh Persis Solo.
Jika melirik hasil kompetisi musim ini, lantas apakah manajemen Persis Solo PT.LI lebih baik dari manajemen Persis Solo versi LPIS? Saya sendiri tetap menyangsikan kinerja kedua manajemen tersebut, saya tetap berfikiran kedua manajemen Persis gagal menjalankan tugasnya dengan baik karena gagal membuat Laskar Samber Nyawa berprestasi.
Lantas bagaimana dengan Persis Solo musim depan? Mantan Ketua Umum Persis Solo yang saat ini menjabat sebagai Walikota Surakarta, FX Rudy sudah memberikan jaminan bahwa musim depan tidak akan ada lagi dualisme Persis Solo. Musim depan hanya akan ada satu Persis Solo yang sah secara legalitas organisasi dan tidak akan ada klaim mana yang asli maupun yang palsu.
Modal yang bagus untuk Persis Solo ketika FX Rudy memberikan jaminan tersebut, namun jika pengelolaan Persis Solo kembali dipegang oleh kedua manajemen yang gagal tersebut, rasanya prestasi Persis Solo hanya akan menjadi isapan jempol semata. Artinya, harapan publik sepakbola Solo dan Pasoepati melihat Persis Solo merengkuh Thopy musim depan nampaknya mungkin hanya akan menjadi mimpi semata.
Saya tidak antipati ataupun memihak ke salah satu manajemen, ada nilai plus dan minus yang dihadirkan oleh kedua manajemen Persis Solo musim ini. Namun jika menilik hasil secara global, keduanya di mata saya adalah manajemen yang gagal membangun Persis Solo menjadi kebanggan Kota Surakarta.
Lalu akankah musim depan Persis Solo kembali terpuruk? Kita nantikan episode baru Persis Solo seusai berakhirnya dualisme kompetisi sepakbola Indonesia.
Mohon maaf jika ada tulisan saya yang menyinggung salah satu kubu ataupun pendukung salah satu kubu.
Hormat saya, Ardi Glewor.