Pertandingan ‘final’ antara Persija dan Arema minggu lalu digadang-gadang menjadi partai penuh gengsi dan tensi tinggi. Meskipun bukan partai menentukan, namun jumlah penonton yang hadir di Stadion Utama Gelora Bung Karno disebut memecahkan rekor di Liga Indonesia yang mencapai 80.000 orang lebih.
Bisa jadi karena itu partai pamungkas kedua tim, bisa pula karena kehadiran puluhan ribu supporter Arema yang akan berpesta usai memastikan gelar juara Liga Super di Pekanbaru tiga hari sebelumnya. Tetapi jangan lupakan bahwa partai ini bukan hanya dihadiri oleh supporter kedua klub.
Adalah sahabat sekaligus mitra koalisi pendukung kedua tim yang ikut pula menyemarakkan kota Jakarta malam itu. Pasoepati, kelompok supporter sepakbola Solo atau Persis Solo ikut dalam larut pesta Aremania di ibukota. Tidak kurang ratusan bahkan ribuan cah Solo berbaur untuk sedikit memerahkan dominasi warna orange dan biru.
Saya adalah salah satu Pasoepati yang kini tinggal di Jakarta. Kenyataan ini saya jumpai sendiri ketika saya mengantarkan adik saya pulang ke Solo setelah berlibur ke Jakarta malam itu di seputaran stasiun Senen. Stasiun kereta yang menjadi favorit pemudik itu sempat dipenuhi puluhan supporter dengan seragam klub masing-masing. Saya sendiri hanya menyaksikan pertandingan itu melalui tanyangan televisi.
Saya sempat kaget melihat pemandangan bahwa ternyata Pasoepati pun ikut dalam perayaan Aremania ini. Saya tahu bahwa Pasoepati adalah sahabat dari The Jak mania dan Aremania. Dan itu lumrah terjadi jika mereka memang harus merayakan kesuksesannya bersama.
Namun, entah kenapa ketika beberapa orang Pasoepati bernegosiasi dengan petugas stasiun untuk bisa pulang malam itu ke Solo, saya meneteskan air mata. Sebenarnya bukan hanya karena saya trenyuh dengan permohonan anak-anak Solo ini agar dapat kesempatan pulang kampung, tapi juga karena saya prihatin dengan sepakbola Solo.
Adik saya bahkan bergumam pelan melihat pemandangan ini, “Mesakno mas… Pasoepati malah pesta karo klub liya…” (kasihan kak, Pasoepati justru berpesta dengan klub lain..). Nada ini jelas mengindikasikan bahwa ternyata banyak warga Solo bahkan Pasoepati sendiri rindu dengan prestasi mentereng klub kota Budaya Surakarta Hadiningrat. Tidak kunjung berprestasinya Persis Solo di Liga Indonesia Divisi Utama yang terdegradasi membuat Pasoepati yang sudah kangen mengangkat piala “terpaksa” mengangkat piala klub lain.
Sekali lagi saya tidak menghakimi bahwa sebagain dari mereka karena tidak loyal kepada Persis. Tapi justru itu seharusnya menjadi bahan renungan pengurus sepakbola Solo. Pemerintah Daerah, Pengurus Klub, dan insan sepakbola Solo bahwa sampai kapan kita menyia-nyiakan semangat Pasoepati yang rela datang ke Stadion Manahan meskipun hujan dan panas. Bernyanyi, konvoi, bahkan harus baku hantam sekalipun karena fanatisme yang luar biasa kepada klub kesayangan.
Pasoepati adalah asset luar biasa Karesidenan Surakarta. Jika Persis Solo bisa menjadi klub besar di Liga Indonesia, bukan mustahil Pasoepati akan membludak karena kehadiran anggota-anggota baru warga Karanganyar, Sragen, Boyolali, Klaten, Sidoharjo, Wonogiri, bahkan Grobogan dan sekitarnya yang meskipun daerah itu sudah punya klub lokal sendiri dan jarak yang jauh.
Apakah kita rela asset ini justru dimanfaatkan oleh klub lain. Mereka membela klub lain, karena klubnya tidak ada dalam kompetisi. Mari saudara-saudaraku setanah kelahiran. Kita hidupkan lagi aura sepakbola yang pernah berjaya di kota Solo dengan Arsetonya. Kedepan dan seterusnya saya berharap tidak menestakan air mata ini karena keprihatinan, tapi air mata kebahagiaan karena kemenangan. Kemenangan kita, klub kita, klub kesayangan kita, Persis Solo.
Jayalah Persisku.. Forza Persis sak modare.. 😡
Artikel Kiriman Muh Aris Budi Yadi (afachdzel@gmail.com)